
Hari Ini , Jakarta - Center of Economic and Law Studies (Celios) menilai langkah pemerintah mengekspor listrik hijau sebesar 3,4 gigawatt ke Singapura tidak tepat. Sebab banyak daerah utamanya di desa-desa tertinggal, terdepan, dan terluar yang masih belum mendapatkan akses listrik.
“Rasionalisasinya adalah pemerintah harus mempertimbangkan dan memprioritaskan kebutuhan listrik untuk untuk daerah-daerah tersebut, alih-alih ekspor,” kata Direktur Socio-Bioeconomy Celios Fiorentina Refani saat dihubungi, Selasa, 17 Juni 2025.
Selain belum meratanya akses listrik, Fiorentina juga menyoroti persoalan keandalan listrik yang kerap terjadi di Tanah Air. Ketimbang melakukan ekspor listrik, Fiorentina menyarankan agar pemerintah menggenjot komitmen transisi energi di dalam negeri terlebih dahulu.
Semestinya, kata Fiorentina, pemerintah melakukan investasi awal untuk memensiunkan dini pembangun listrik tenaga uap (PLTU) batubara. Selain itu, kata Fiorentina, bisa juga untuk membangun sumber energi yang lebih mudah dijangkau masyarakat seperti pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) “Atau PLTS atap yang transmisinya lebih masuk akal secara kalkulasi ekonomi.”
Menurut Fiorentina, membangun sistem kelistrikan yang andal juga bisa membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat di daerah. “Artinya ini adalah investasi yang nyata untuk pertumbuhan ekonomi nasional daripada harus bergantung pada ekspor,” ujar dia.
Fiorentina khawatir ekspor listrik juga bisa menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat. Misalnya konflik lahan dan turunan dampak lingkungan dalam pembangunan pembangkit listrik skala masif serta perolehan bahan bakunya.
Sementara itu, soal rencana ekspor listrik hijau, dosen ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi, berharap Indonesia bisa mendapatkan transfer teknologi dari hasil kerja sama bisnis itu.
Sebab, menurut Fahmy, Indonesia sebenarnya memiliki sumber daya alam yang menunjang pembangunan listrik bersih. “Sebenarnya Indonesia kan harus mengembangkan listrik hijau untuk misalnya mengganti pembangkit yang pensiun dini,” ujarnya. Namun itu semua terhalang oleh keterbatasan teknologi.
Fahmy mengatakan transfer teknologi itu juga bisa meningkatkan kemampuan tenaga kerja. Nantinya, Indonesia mandiri mengemas energi hijau tanpa perlu bergantung lagi dengan teknologi dari Singapura ataupun Jepang. “Sehingga pada saatnya mudah-mudahan akan mengembangkan sendiri untuk kebutuhan di Indonesia maupun ekspor,” kata Fahmy.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia sebelumnya menjelaskan pasokan listrik tersebut akan bersumber dari energi bersih, terutama Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Adapun pasokan listrik yang diekspor bisa saja akan berubah karena produksi listrik tersebut juga direncanakan diserap oleh industri dalam negeri.
“Tidak semua kapasitas produksi akan diekspor. Sebagian akan dimanfaatkan untuk kepentingan nasional, khususnya industri yang memiliki efek berantai dan menciptakan nilai tambah di dalam negeri,” kata Bahlil.
Nandito Putra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
0 komentar:
Posting Komentar