Rabu, 18 Juni 2025

RUU Perampasan Aset Terancam Disalahgunakan? Gugatan Perpu PUPN Jadi Alarm

Hari IniJAKARTA — Gugatan uji materi terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK), dinilai sebagai momentum penting untuk mengevaluasi penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Asetyang saat ini tengah dibahas pemerintah dan DPR.

Pengamat hukum dari Universitas Airlangga, Hardjuno Wiwoho, menilai bahwa substansi gugatan terhadap Perpu PUPN bisa menjadi cermin awal tentang sejauh mana sistem hukum Indonesia mampu menyeimbangkan penyelamatan keuangan negara dengan perlindungan hak warga negara dari potensi penyalahgunaan kekuasaan.

“Saya kira, gugatan soal Perpu PUPN ini perlu dicermati. Apalagi pemerintah dan DPR sedang membahas RUU Perampasan Aset yang juga memberi kewenangan besar kepada pemerintah,” kata Hardjuno dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa.

Merujuk pada risalah sidang MK terakhir, Hardjuno menyoroti lemahnya pengawasan terhadap proses penetapan obligor atau penanggung utang oleh pemerintah. Hal ini mencakup persoalan dokumen dasar tagihan yang diduga tidak sahih, termasuk dugaan adanya salinan putusan Mahkamah Agung (MA) palsu.

“Jika benar ada putusan MA palsu yang dijadikan dasar tagihan dan digunakan untuk merampas hak warga, maka itu masalah serius dalam konteks kepastian hukum,” katanya

Ia juga mengkritisi dugaan pemindahan dana ke rekening bank yang tidak sah atau tidak sesuai dengan nama pihak yang ditagih. Menurutnya, kondisi ini menjadi sinyal penting bahwa sistem hukum perlu dibenahi sebelum RUU Perampasan Aset disahkan.

RUU Perampasan Aset Harus Akuntabel

Hardjuno menegaskan bahwa negara memang memerlukan instrumen hukum yang kuat untuk menyita aset hasil kejahatan. Namun, itu harus dibarengi jaminan due process, perlindungan bagi pihak ketiga, serta mekanisme keberatan yang transparan.

“Jika tidak, kekuasaan bisa kehilangan akal sehatnya. RUU Perampasan Aset bisa menjadi alat represif bila tanpa kontrol yudisial yang cukup,” tegasnya.

Bagi Hardjuno, gugatan terhadap Perpu PUPN bukan sekadar soal menang atau kalah di MK, tapi uji awal integritas hukum dalam memastikan bahwa aturan hukum tetap melindungi warga dari penyalahgunaan kewenangan.

“Ini bukan soal satu orang. Gugatan ini menyangkut masa depan keadilan hukum di Indonesia,” imbuhnya.

Sebagai informasi, Perpu Nomor 49 Tahun 1960 selama ini menjadi dasar hukum bagi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan dalam menyita aset obligor dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Gugatan uji materi diajukan oleh pengusaha dan bankir pemilik Bank Centris Internasional, Andri Tedjadharma, yang menilai bahwa dirinya dikriminalisasi secara koersif oleh PUPN karena ditetapkan secara sepihak sebagai penanggung utang negara.

Dalam sidang MK pada Rabu (30/4), Pemerintah melalui Dirjen Kekayaan Negara Rionald Silaban menyampaikan bahwa Perpu tersebut penting sebagai pelindung keuangan negara, dan menolak dalil yang menyebut adanya tindakan sewenang-wenang.

Namun demikian, polemik tersebut memperkuat argumen bahwa sistem penegakan hukum keuangan negara harus mengedepankan prinsip keseimbangan antara otoritas negara dan perlindungan hukum individu.***

0 komentar: