
Oleh: Furqan Mawardi
Muballigh Akar Rumput
TRIBUN-SULBAR.COM - Setiap kali jamaah haji kembali ke tanah air, kampung-kampung mulai kembali ramai.
Tidak lagi dengan suara talbiyah, tetapi dengan banyaknya syukuran-syukuran serta beragamnya jamuan tasyakuran, dan yang tentu yang khas adalah gelar baru yang disematkan “Pak Haji”, “Bu Hajjah” bagi yang baru pulang haji. Ada kebanggaan, tentu saja.
Bahkan seringkali secara tak sadar ada juga gengsi dan kehormatan sosial yang melekat dalam sebutan itu. Tapi di balik semua itu, saya ingin bertanya apakah cukup menjadi ‘Pak Haji’, tanpa menjadi penjaga nilai-nilai Ilahi?
Saya menyaksikan sendiri, bagaimana para jamaah haji itu bersimpuh di depan Ka'bah.
Ada yang menangis berjam-jam dalam sunyi, ada yang berdoa lirih memohon hidup baru, ada pula yang dengan sungguh-sungguh bertekad memperbaiki diri.
Tapi saat kaki telah menjejak kembali di tanah air, apakah tekad itu masih menyala?
Ataukah semua rencana perubahan itu luntur dalam hiruk-pikuk kehidupan yang berjalan seperti biasa?
Padahal, haji itu bukan sekadar ibadah fisik. Ia adalah revolusi jiwa, penyucian batin, dan ikrar suci untuk kembali sebagai manusia yang lebih lurus, jujur, bersih, dan peduli.
Bila nilai-nilai itu tidak kita bawa pulang, maka yang kita tinggalkan hanyalah jejak kaki di tanah Haram, bukan jejak manfaat di tanah kelahiran.
Dulu, saya sering bertanya-tanya, mengapa kata “mabrur” tidak pernah dijelaskan secara teknis dalam Al-Qur’an atau hadis? Apa definisinya? Apa standarnya?
Lama-lama saya baru memahami bahwa kemabruran itu bukan hanya soal ritual, tetapi soal aktual.
Ia bukan tentang betapa khusyuknya kita thawaf, tapi sejauh mana kita berubah. Ia bukan tentang seberapa panjang doa kita di Multazam, tapi apakah kita menjadi pribadi yang lebih jujur, lebih peduli, lebih adil, dan lebih bermanfaat setelah pulang.
“Pak Haji dan bu Hajjah” sejatinya adalah gelar tanggung jawab, bukan gelar sosial. Ia menuntut pemiliknya untuk menjadi teladan. Bukan hanya dalam berbusana, tapi dalam bersikap.
Bukan cuma dalam cara berjalan ke masjid, tapi dalam cara memperlakukan tetangga, menyantuni fakir miskin, dan menjaga amanah.
Menjadi Penjaga Spirit Ilahi
Ketika seseorang pulang dari haji, ia telah melewati banyak fase, diantaranya meninggalkan rumah, melepas kebiasaan, merendahkan diri di padang Arafah, merasakan persaudaraan lintas bangsa, hingga melempar simbol-simbol kejahatan dalam wujud jumrah. Semua itu bukan sekadar ritual simbolik. Itu adalah pendidikan ruhani, yang menjadikan kita penjaga nilai-nilai Ilahi.
Maka tugas setelah pulang adalah menjaga kesucian itu. Jangan sampai setelah “lempar jumrah” di Mina, kita malah melempar kebohongan di kantor.
Jangan sampai setelah mencium Hajar Aswad dengan air mata, kita malah mencium peluang korupsi dengan senyum licik.
Jangan sampai setelah bersimpuh di padang Arafah, kita malah membelakangi penderitaan tetangga sendiri.
Spirit Ilahi yang diperoleh dari haji seharusnya menjadi bara suci yang kita bawa ke rumah, ke pasar, ke ruang rapat, ke masjid, ke kampus, ke ladang serta tempat umum lainnya. Nilai-nilai kejujuran, keadilan, kesabaran, ketawadhuan, dan solidaritas sosial itulah yang harus dijaga.
Karena itulah yang membedakan ‘haji’ sebagai ibadah, dan ‘haji’ sebagai gelar kosong.
Ada satu kalimat yang selalu saya ingat: “Orang pulang haji itu harusnya mulai dari nol lagi, tapi bukan dari kosong.” Nol dari dosa, ya. Tapi tidak kosong dari semangat berbenah.
Nol dari kesombongan, ya. Tapi tidak kosong dari energi spiritual yang membumi.
Menjadi haji itu bukan selesai, justru baru mulai. Mulai dari niat baru. Dari hidup yang ingin lebih bermakna.
Dari tekad untuk menebar manfaat. Karena kita tahu, “sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesama.”
Jadi, jangan puas dengan sapaan “Pak Haji”. Jangan terhenti pada gelar “Bu Hajjah”. Mari kita pastikan, bahwa setiap orang yang memanggil kita begitu, bukan sedang menyebut gelar sosial kita, tapi sedang menyaksikan kemuliaan akhlak dan kesalehan hidup kita. Kita bukan sekadar jamaah haji, tapi penjaga nilai-nilai Ilahi.
Haji Pengubah Peradaban
Fakta dilapangan sering kita temui bahwa semangat haji yang membuncah perlahan redup begitu kaki menjejak kembali di tanah air.
Kesibukan hidup, rutinitas pekerjaan, dan dinamika sosial kerap menggerus gema takbir dan ketenangan yang diraih di Tanah Suci. Di sinilah tantangan sejati dimulai.
Menjadi haji yang mabrur bukan semata-mata dinilai dari kesyahduan ibadah di tanah Arab, melainkan dari konsistensinya menghadirkan nilai-nilai ilahiyah dalam setiap denyut nadi kehidupan sosialnya.
Nilai-nilai kejujuran, amanah, kesabaran, kepedulian, hingga kesederhanaan, adalah cerminan dari ibadah haji yang harus terus dihidupkan dan diwariskan.
Jamaah haji yang telah kembali sejatinya adalah "duta nilai" yang membawa pesan spiritual, etika, dan transformasi akhlak.
Mereka seharusnya menjadi cermin kebaikan di lingkungan sekitar—baik di keluarga, komunitas, maupun dalam institusi sosial.
Dalam masyarakat yang sarat krisis keteladanan, jamaah haji adalah harapan baru: orang-orang yang telah dibina langsung oleh suasana sakral di tempat paling mulia, dan kini hadir kembali untuk membangun bangsa dari dalam, dari nilai, dari akhlak.
Bukan mustahil, bangsa ini akan bangkit bila setiap haji mampu menginspirasi satu lingkaran kecil saja dengan amal dan akhlaknya.
Maka kepulangan jamaah haji bukanlah akhir, melainkan awal dari jihad baru yakni jihad moral, jihad peradaban.
Sebuah panggilan untuk terus menjaga integritas, menebar rahmat, dan menjadi agen perubahan.
Ketika setiap haji kembali dengan tekad memperbaiki diri dan memberi manfaat bagi sesama, maka sejatinya mereka telah menjawab panggilan suci dari langit, bukan hanya dalam ihram, tapi dalam keseharian.
Inilah wujud nyata dari keberkahan haji yang tidak hanya mendarat di bandara, tapi mendarat pula di hati, di kampung, di institusi, dan di negeri tercinta ini. (*)
0 komentar:
Posting Komentar